Geriatri.id—Sebuah studi menunjukkan bahwa diskriminasi usia sangat nyata di media sosial selama masa pandemi COVID-19 ini. Peneliti dari Universitas Michigan, Amerika Serikat menyatakan bahwa media sosial sebagai platform online yang mereproduksi dan memperkuat ageisme yang ada di masyarakat.
Penelitian itu diterbitkan dalam Journals of Gerontology Series B berjudul Modern Senicide in the Face of a Pandemic. Senicide secara harfiah adalah pembunuhan terhadap lansia atau mengabaikan lansia sampai kematiannya.
Peneliti menggunakan berbagai aplikasi dan metode statistik untuk mengolah hampir 83.000 data di Twitter selama 23 Januari hingga 20 Mei 2020. Hasilnya, satu dari lima postingan di Twitter terkait kelompok lanjut usia dan COVID-19 mengandung sentimen negatif.
Peneliti memberikan kode "pendapat pribadi" (66%), "informatif" (25%), "lelucon / ejekan" (5%) dan "pengalaman pribadi" (4%).
Dari keseluruhan kicauan itu, sekitar 16% tweet memiliki konten tentang usia lanjut. Kandungan diskriminasi (ageisme) tertinggi 53% terjadi pada 11 Maret, saat Organisasi Kesehatan Dunia menyatakan COVID-19 sebagai pandemi.
“Temuan ini memberikan bukti bahwa media sosial sebagai platform online yang mereproduksi dan memperkuat ageisme yang ada di masyarakat seperti temuan penelitian sebelumnya,” kata Xiaoling Xiang dilansir newswise.
Para peneliti mengatakan pemeriksaan kata-kata teratas di tweet mengungkapkan bentuk-bentuk halus dari ageism, yang tidak seekstrem senisida.
"Lansia" adalah istilah yang paling umum digunakan terkait dengan orang dewasa yang lebih tua dalam data. Kata itu sering digunakan secara negatif dan dikaitkan dengan kelemahan, kerentanan, dan kepikunan.
Kata-kata seperti "rentan", "gangguan kekebalan", dan "sakit" sering kali muncul di samping istilah yang merujuk pada orang dewasa yang lebih tua. Sedangkan "muda" dan "sehat" muncul bersamaan.
"Kata-kata yang terkait dengan kerentanan muncul baik dalam tweet yang menunjukkan sikap apatis terhadap orang dewasa yang lebih tua dan di tweet yang menganjurkan untuk melindungi orang dewasa yang lebih tua," kata Xiang. "Pilihan bahasa sangat penting untuk identitas sosial."
Pandemi tersebut tampaknya melanjutkan konflik antargenerasi antara Baby Boomers dan Milenial, yang berbeda dalam isu-isu seperti perubahan iklim, perawatan kesehatan, jaminan sosial, perumahan terjangkau, dan politik.
"Krisis COVID-19 tampaknya telah meningkatkan perpecahan generasi ini," kata Xiang.
Tetapi studi itu tidak berarti memperlihatkan semua suram. Ada sekilas solidaritas dan kesadaran mengenai diskriminasi usia atau ageisme. Mereka menyerukan bahwa setiap kehidupan itu berharga tanpa memandang usia. Beberapa tweet juga menggunakan ##ageism to raise awareness. (ymr)
Foto: Pixabay