“Di Asia Tenggara, populasi lansia tumbuh rata-rata 3,2% per tahun—lebih cepat dibandingkan pertumbuhan penduduk umum (0,8%).” (Sumber: ASEAN Centre for Ageing)
Warga Senior Indonesia masih produktif. 55 % dari hampir 20 juta jiwa warga berusia sekitar 60 tahun tetap aktif bekerja kendati di sektor informasi. Alih-alih para lansia ini tersingkir dari gelanggang ekonomi karena besarnya angka usia produktif alias bonus demografi. Oma opa atau yang menjelang pensiun justru menjadi lokomotif ekonomi karena berada di puncak paramida konsumsi sehingga lebih stabil dan kaya.
Inilah Silver Economy atau penopang baru ekonomi di tengah tantangan ekonomi yang berat. Pandemi Covid-19 juga mengukuhkan ekonomi pada lansia belum tergoyahkan. Kita pun dengan mudah melihat kondisi keluarga lebih mapan saat orang tua masih ikut membantu.
Mari kita hadapi kenyataan: jumlah lansia di Indonesia telah mencapai 26,4 juta jiwa pada tahun 2020. Proyeksi Bappenas menunjukkan angka ini akan melonjak drastis menjadi sekitar 61,4 juta jiwa pada tahun 2045, mencakup 20–25% dari total populasi. Ini bukan sekadar data statistik; ini adalah suara-suara yang menanti untuk didengar dan dihargai.
Di kancah global, “Silver Economy”—sektor ekonomi yang tumbuh dari kebutuhan dan daya beli lansia—kian menjadi tulang punggung. Bahkan, Indonesia diprediksi akan menjadi pasar silver economy terbesar ketiga di dunia, setelah Tiongkok dan Jepang. Potensi ini jelas menegaskan satu hal: lansia Indonesia adalah aset berharga, bukan beban.
Geriatri-ID yang berawal dari gerakan mencintai lansia pun terdorong untuk berperan lebih bagi komunitas. Geriatri yang diambil dari istilah medis yang berarti orang tua (geron) kini menjadi ekosistem bersama terkait informasi dan layanan terkait warga usia lanjut. Apalagi pada masa pandemi Covid-19 saat terjadi lockdown, oma opa harus belajar digital dengan cepat dan tetap percaya pada saran ahli, termasuk dokter Geriatri.
Kini, Bayangkan Bapak Suparno, seorang pensiunan buruh tani, beralih menjadi mentor bagi petani-petani muda. Atau Ibu Lilis, pensiunan guru, yang mahir menggunakan smartphone untuk mengakses layanan kesehatan digital dan berbagi resep sehat melalui WhatsApp. Di setiap sentuhan jari mereka pada perangkat digital, terpancar ketekunan, pengalaman, dan kerinduan untuk terus merasa berarti.
“Karena menjadi tua tak berarti berhenti, tapi waktunya berarti.”