Penulis: Husna Sabila
Geriatri.id - Kalau di fase akhir usia remaja hingga awal dewasa kita mungkin sering mendengar istilah ‘quarter life crisis’ sebagai penyebab galaunya anak muda, maka kelompok lansia pun memiliki ‘crisis’ mereka sendiri, yaitu late-life crisis.
Merujuk pada penelitian Oliver C. Robinson dari Departemen Psikologi dan Konseling, Universitas Greenwich, Inggris, yang dimaksud dengan fenomena krisis di sini adalah kondisi atau sebuah periode—umumnya berupa perubahan dan permasalahan—yang bertahan dalam kurun waktu yang cukup lama, ketika seseorang sudah tidak mampu mengatasi permasalahan yang mereka hadapi dengan efektif, sehingga umumnya akan berdampak pada ketidakstabilan emosi dan dampak-dampak negatif lainnya.
Banyak hal yang dapat menjadi pemicu late-life crisis pada lansia. Namun, berdasarkan data survei 300 lansia di Inggris, 33% responden menjawab pemicu krisis mereka adalah rasa kehilangan (bbc.com).
Adapun menurut Johns Hopkins University, ‘penyebab’ dari late-life crisis pada lansia di antaranya:
Faktor usia dan penuaan
Perubahan fungsi tubuh dan perubahan kehidupan sosial membuat krisis diri lansia menjadi semakin kuat.
Perasaan melankolis mungkin terasa oleh lansia sebab perubahan-perubahan dalam kehidupan membuat masa depan terasa tidak stabil dan tidak bisa ditebak akan seperti apa jadinya.
Perasaan bahwa keluarga yang mendampingi menyebalkan
Baik dewasa muda maupun lansia sama-sama memiliki beban kehidupan yang kerap membuat mereka ‘stres’.
Perbedaan penyebab stres yang membedakan stres pada kelompok dewasa awal dengan lansia. Usia dewasa awal mungkin mengalami ‘quarter life crisis’ sebab perbedaan-perbedaan konflik kehidupan usia dewasa yang baru saja mereka alami, sedangkan lansia, stres yang dirasakan bisa jadi lebih bersumber kepada hal-hal seputar keluarga.
Perasaan kesepian
Perubahan fase kehidupan pada lansia juga akan berdampak pada pola aktivitas keseharian mereka—dan kesibukan harian—yang berbeda. Hal ini acapkali membuat lansia merasa kesepian.
Apabila lansia tidak menemukan alternatif dalam mengatasi ‘kekosongan’ ini, lansia akan berisiko kehilangan lingkungan sosial dan rasa bahwa “diri mereka berharga”.
Mengalami kehilangan dan duka mendalam baru-baru ini
Perasaan berduka akibat kehilangan—khususnya kehilangan orang terdekat dan terkasih—akan membuat lansia berpikir dan merasakan kematian mereka sendiri.
Perasaan-perasaan ini dapat berdampak negatif dan destruktif apabila tidak segera diselesaikan dan dihadapi dengan cara yang sehat.
Secara lebih terperinci, Late-life crisis menurut Oliver C. Robinson setidaknya terbagi ke dalam 4 kategori yaitu:
1. Kehidupan dan hubungan
Dalam kategori ini, late-life crisis dapat dipicu oleh rasa kehilangan dan duka yang mendalam akibat ditinggal oleh pasangan ataupun orang tua dan anak.
Selain rasa kehilangan, adanya penyakit yang membahayakan hidup juga menjadi salah satu pencetus late-life crisis pada lansia.
Pemicu lain terkait perubahan kehidupan seperti pensiun. Meskipun pensiun dapat dimaknai positif dalam berbagai hal, namun tidak bisa dipungkiri bahwa kondisi pensiun ini membuat lansia merasakan beberapa kehilangan dalam satu waktu: kehilangan status pekerjaan, kehilangan rutinitas yang biasa mereka lakukan, dan kehilangan salah satu lingkungan sosial mereka.
2. Diri sendiri
Ketika memasuki usia lanjut, banyak sekali hal dalam diri yang dapat menimbulkan late-life crisis.
Salah satunya adalah ingatan akan hal yang kurang menyenangkan dan kesalahan di masa lalu. Selain itu, penerimaan diri akan keadaan lansia saat ini juga menjadi salah satu hal yang dapat memunculkan krisis.
Kondisi lansia mungkin tidak seideal ketika usia muda, banyak keterbatasan dan permasalahan tubuh yang mulai bermunculan.
Hal ini perlu diterima lansia dengan pikiran dan hati terbuka sehingga tidak menimbulkan krisis batin kemudian.
3. Tujuan dan motivasi
Terdapat dua bentuk motivasi yang terjadi ketika lansia dihadapkan pada krisis (contohnya kondisi pensiun) yaitu yang bersifat positif, di mana lansia akan melihat kondisi tersebut sebagai sebuah jalan bagi mereka untuk lebih menikmati hidup, bersantai, dan terbebas dari beban pekerjaan, atau yang bersifat negatif, yaitu ketika lansia berpikir dan merasa bahwa sudah tidak mungkin lagi bagi mereka untuk dapat produktif, memiliki status sosial yang baik, dan lain sebagainya.
4. Emosi dan perasaan
Perubahan fase kehidupan, kehilangan, dan duka menghadirkan bermacam-macam perasaan bagi lansia.
Perasaan yang kerap muncul pada lansia di tahap ini adalah rasa duka, down, perasaan tidak berarti, sedih, kesepian, dll. Selain itu, pada fase ini—dengan dihadapkannya lansia dengan perasaan duka dan kehilangan—akan membuat mereka lebih sering memikirkan kematian dan juga sisa usia mereka di dunia.
Alicia Arbaje, MD., MPH, dokter ahli geriatri dari Johns Hopkins mengatakan bahwa dalam menghadapi late-life crisis ini, lansia dapat didampingi oleh keluarga maupun orang terdekat untuk dapat ‘move on’ dari kondisi krisis ini.
Caranya antara lain dengan membenahi mindset mengenai proses penuaan dan segala perubahan yang terjadi di dalamnya, menemani lansia untuk menceritakan dan mencurahkan perasaan-perasaan mereka, serta menikmati setiap perubahan yang terjadi sekaligus menjadikannya sebagai sebuah kesempatan bagi lansia untuk terus bertumbuh.
==
Video Lansia "Menjaga Pikiran, Hati, dan Kesehatan Jantung di Bulan Ramadan"