Suatu pagi saya sedang menikmati sarapan di kamar bersama teman sekamar, masuklah seorang bapak dari regu lain ke kamar menghampiri saya yang sedang makan. Beliau bercerita jika kemarin istrinya melaksanakan thawaf wajib di lantai 2 dengan menaiki kursi roda bersama jamaah resiko tinggi lainnya. Kata beliau, istrinya hanya bisa melihat Kabah dari lantai atas, cuma bisa melihat sedikit Ka'bah, jadi kurang mantap dan kurang puas. Beliau cerita kondisi kesehatan istrinya mengapa masuk jamaah resiko tinggi. Lututnya bermasalah, istrinya tidak kuat berjalan jauh dan kecepatan jalannya juga agak lambat tapi selain itu istrinya sehat. Nah, sampailah pada inti cerita bahwa istrinya ingin melihat kabah dari dekat. Wah unik ih.
“Maksudnya gimana pak?” saya bertanya. Istrinya hanya mau melihat kabah dari lantai dasar di pelatarannya. Tidak ingin thawaf, hanya ingin melihat Ka'bah lebih dekat
“Enaknya gimana dan kapan ya mas?” Di kepala saya entah mengapa kalimat itu berubah seakan menjadi “Mas istri saya ingin melihat Kabah dari dekat bisa tolong temani saya nggak?”.
Saya tidak langsung mengiyakan masih ada beberapa hal yang mengganjal. Istri bapak kan kemarin memakai kursi roda saat thawaf, kira2 kuat nggak jalan kaki dari terminal hingga pelataran kabah. Saya sarankan kita membayar kursi roda saja.
Saya masih mikir sambil mengunyah makanan. “Kira-kira enaknya kapan ya mas?”
Saya melihat jam di kamar menunjukkan pukul 06.15 Waktu Arab Saudi tapi nasi saya masih separuh. Lalu saya jawab “Sekarang aja pak setelah saya menghabiskan sarapan ini”. Tampak wajah gembira dari si Bapak lalu kemudian mengambil teleponnya untuk mengabari istrinya. Kita berangkat sekarang, silahkan Ibu siap-siap pake baju ihram dan jangan lupa membawa Kartu Nusuk.
Selesai makan saya pun berganti memakai baju ihram, membawa kartu nusuk dan perlengkapan kecil seperti kacamata dan tas. Kami pun izin ke ketua regu dan rombongan. Kami berdua pun ke lantai 8 untuk menjemput sang Istri. Ternyata di depan kamar sudah ramai Ibu-ibu membantu persiapan Ibu ini yang mau melihat Kabah dari dekat dan alangkah kagetnya ternyata ada satu lagi ibu-ibu resiko tinggi yang ingin ikut. Usianya sekitar 70 tahun masih kuat jalan meski pelan. Waduh ini bagaimana saya tidak mampu menolak dan Ibu itu sudah siap menggunakan ihram. Banyak teman-teman jamaah yang berpesan udah nanti jalan pelan dan santai saja yang penting melihat Kabah dari dekat.
Saya pun menelepon keluarga Ibu satunya lagi di Indonesia. Saya jelaskan Ibu ingin ikut melihat Kabah mungkin akan keluar biaya sewa kursi roda antara 100 hingga 250 riyal. Setelah keluarga nya setuju saya mengecek persiapan setelah itu kami berempat pun berangkat menuju Masjidil Haram. Senyum bahagia terpancar jelas di wajah mereka bertiga. Saya yang tegang karena membawa dua jamaah lansia resiko tinggi.
Dari depan hotel kami naik bus ke terminal Syib Amir. Di perjalanan kami berbincang ringan. Entah mengapa saya merasa lalu lintas cukup sepi. 20 menit kami sampai di terminal Syib Amir. Turun dari bus kami langsung dikerubuti penyedia jasa kursi roda. Mereka buka harga 250 riyal per kursi roda. Ini sudah termasuk jasa untuk mendorongnya. Saya gelengkan kepala. Mereka turun ke 200 saya tetap tidak mau. Lalu mereka bertanya berapa yang saya mau? Saya jawab kalau mau 100 riyal saya ambil dua kursi roda. Mereka pun setuju.
Lalu kami pun berjalan ke arah Kabah dengan dua ibu-ibu naik kursi roda. Melewati penjagaan di depan kami malah tidak diperiksa. Mereka dorong kursi roda lumayan cepat, saya dan Bapak itu pun berjalan cepat di belakangnya. Mendekati pintu 16 mereka berhenti saya pun membayar 200 riyal untuk dua kursi roda. Dari sini kami berjalan kaki. Berjalan sekitar 20 meter kami menuruni eskalator. Satu satu kami menggandeng para Ibu. Kami berjalan mengikuti arus jamaah sampai akhirnya kami berada di samping bukit Shofa lantai dasar. Ada batu-batuan yang dipagar kaca. Mereka pun berfoto. Satu per satu dan dengan pasangannya. Puas berfoto di sini kami lanjut jalan. Di sela-sela tiang maktab kami melihat Kabah dan ribuan orang yang melakukan thawaf. Bergetar hati saya. Sekali lagi kami menuruni eskalator. Dengan sigap kami membantu Ibu saat naik dan turun di eskalator.
Turun dari eskalator saya merasa dua Ibu ini kok berjalan lebih cepat dari biasanya. Apa karena semangat mau melihat Kabah dari dekat ya? Hanya mereka yang tahu. Dan kami sudah satu lantai dengan pelataran kabah. Lanjut berjalan dan akhirnya sampai di pelataran Kabah. Terpampang jelas dari wajah mereka senyum bahagia dan haru. Mereka puas bisa melihat ka'bah lebih dekat dari kemarin. Ka'bah berdiri dengan gagah hanya berjarak puluhan meter dari tempat kami berdiri. Ribuan jamaah melakukan thawaf. Di samping ka'bah mereka panjatkan doa. Selesai memanjatkan doa dan berfoto mereka mengajak pulang. Langsung saya tolak. “Sudah habis 100 riyal bu masa gitu doang.” Saya ajak mereka ke sisi Kabah.
Tempat para jamaah melaksanakan shalat sunnah thawaf. Saya carikan lokasi yang agak sepi dan teduh berjalan di sisi luar jamaah yang bertawaf. Mereka tambah bahagia. Mereka pun melakukan shalat sunah tak lupa usai shalat mereka memanjatkan doa untuk keluarga baik yang sudah meninggal maupun yang berada di tanah air. Agak lama kami disini.
Setelah itu saya ajak pulang. Dan mereka setuju. Mereka jelas bahagia. Sebelum pulang saya ajak minum air zam-zam di samping pelataran Kabah untuk sejenak hilangkan dahaga. Kami Pun berjalan keluar. Sesampai di luar bangunan tambahan Masjidil haram saya mencari-cari jasa penyedia kursi roda tidak ada satupun yang lewat. Kami berdiskusi mau tidak mau kita harus berjalan dari pelataran Kabah ke Terminal Syib Amir. “Kita jalan pelan-pelan tidak apa-apa ya Mas.” ucap kedua Ibu. Lalu saya bilang, “Tapi ibu kalau capek bilang ya kita istirahat. Iya mas, saya sudah sangat senang bisa lihat ka'bah dari dekat.” Kami berjalan pelan ke arah terminal. Ribuan orang dari berbagai negara berpapasan dengan kami. Kami mengobrol ringan sepanjang perjalanan menikmati hampir 1 kilometer jarak dari Ka'bah ke terminal. Sesampai di terminal kami pun naik bus kembali ke hotel. Di bus saya tidak berhenti keheranan. Kok bisa ya berangkat dari hotel ke Masjidil Haram jalanan lengang, sampai di terminal mendapatkan kursi roda dengan harga 100 riyal. Di pelataran Ka'bah tidak terlalu ramai. Dan mereka mampu berjalan sejauh 1 kilometer.
Kami pun tiba di hotel dan kami antar kedua Ibu ini ke kamarnya. Tidak berhenti mereka ceritakan pengalaman ini ke teman sekamar mereka. Dan mereka jelas bahagia. Saya dan si Bapak kembali ke kamar masing-masing. Saya mendapatkan ucapan terima kasih. Itu sudah lebih dari cukup. Beberapa hari kemudian cerita ini terdengar ke jamaah lain. Hingga ada suatu hari saya dihampiri lagi oleh si Bapak kata beliau ada jamaah lain yang bertanya “Giliran saya kapan pak?”.
---
Sambil menunggu puncak haji yang sekitar 1 bulan lagi. Kami sesama jamaah mengisi dengan ibadah umroh sunnah. Rombongan lain banyak yang memakai taksi biasa untuk pergi ke Tan'im mengambil Miqot. Saya memakai aplikasi taksi online bernama Careem. Taksi online lebih jelas baik dari sisi tarif, rute perjalanan serta profil driver sehingga saya tidak khawatir diturunkan di tengah jalan, meskipun biaya naik turun tergantung waktu kita berangkat. Kalau jam pulang kantor menjelang maghrib tentu biaya lebih mahal.
Untuk menghemat biaya dari hotel ke Tan'im saya naik taksi online dan dari Tan'im ke Masjidil Haram kami naik Bus Mekkah. Biaya taksi online yang kapasitas 7 penumpang sekitar 40 riyal kami iuran antar jamaah. Sedangkan biaya naik bus Mekkah 12 Riyal. Jadi tiap kali umroh per jamaah menghabiskan sekitar 20-23 Riyal. Karena hal inilah banyak jamaah yang ikut saya setiap kali melakukan badal umroh. Jadi yang awalnya saya jamaah haji mandiri yang bersiap untuk segala sesuatunya sendiri, keadaan berubah 180 derajat membuat saya harus mengawal 40 orang jamaah ini.
Di musim haji 2025 kali ini, Kementerian Agama sudah menerapkan Safari Wukuf. Dan perlakuan khusus untuk jamaah resiko tinggi. Misalnya untuk thawaf selalu disiapkan kursi roda. Saat puncak jamaah haji ini dibedakan dengan jamaah reguler, disediakan ambulan dan fasilitas lain untuk mengantisipasi hal-hal yang tidak diinginkan. Kementerian Agama sebenarnya juga menyiapkan skema Tanazul, namun sayang menjelang puncak haji skema ini dibatalkan dengan alasan kurangnya persiapan dan koordinasi dengan Syirkah.
Puncak Haji (Arafah, Muzdalifah dan Mina)
Satu hari sebelum puncak haji, para jamaah Haji ini diberangkatkan Ke Arafah. Keberangkatan dibagi menjadi 3 shift. Kami diminta membawa tas khusus Armuzna dan membawa bekal untuk 4 hari. Masing-masing rombongan berada di satu bus. Untuk jamaah lansia dan resiko tinggi skemanya dengan safari Wukuf. Diberangkatkan terpisah dengan jamaah reguler. Masih banyak lansia yang ingin untuk melakukan puncak Haji sebagaimana jamah reguler. Yang memutuskan adalah tim dokter, apakah jamaah lansia ini ikut safari wukuf atau reguler. Jam 14.00 WAS kami diberangkatkan ke Arafah dengan bus perjalanan hampir 1 jam. Alhamdulillah perjalanan lancar dan kami segera masuk ke tenda di Arafah. Setelah shalat ashar kami diberi makan siang. Makanan Ready to eat langsung siap makan. Setelah makan saya melakukan screening area. Mencari dimana lokasi toilet terdekat, pintu masuk dan keluar serta tempat petugas haji. Hal ini untuk menghindari penumpukan jamaah di toilet. Ada toilet dari bangunan jadi dan banyak juga yang portable. Tinggal pilih mana saja yang kosong.
Saat berjalan-jalan saya melihat banyak sekali kekacauan, misal jamaah yang tidak segera mendapatkan tenda, padahal sudah berada di bus antara 2-3 jam tanpa makanan. Antrian panjang di toilet, entah karena tidak tahu atau takut untuk mencari toilet yang kosong tapi agak jauh dari tenda. Banyak juga yang akhirnya hanya bisa nongkrong di luar tenda.
Malam sebelum puncak haji kami satu kloter berkoordinasi, kira-kira rencana esok hari akan seperti apa. Termasuk pembagian tugas siapa yang imam shalat, bilal dan yang memberikan khotbah wukuf.
Saat puncak haji pun tiba. Banyak yang terharu dan menangis disini. Perasaan campur aduk jadi satu. Alhamdulillah puncak Haji kami lalui dengan lancar. Makanan tidak telat. Toilet masih antri normal yaitu 1-2 orang. Tidur nyaman meski berhimpitan dengan banyak orang.
Malam habis Isya kami diberangkatkan ke Mina. Saat mau masuk ke bus terjadi lagi kekacauan. Rombongan saya ada 30 orang sudah termasuk petugas haji. Yang murur diberangkatkan dahulu. Yang reguler harus antri bus. Banyak jamaah yang tidak sabar. Dan ternyata shariah hanya memberangkatkan jamaah sesuai dengan yang ada di daftarnya. Pernah lihat peristiwa penonton antri masuk konser? Kira-kira seperti itu.
Ratusan jamaah dari kabupaten lain di depan kami tidak tahu kenapa mereka tidak diijinkan masuk padahal mereka satu hotel dengan kami. Di samping kanan kami ada perempuan Arab berteriak memanggil nama Syarikah. Dan ternyata ada shariah yang melayani rombongan kami. Ini kok antrian tidak jalan padahal bus kosong dan petugas menutup paksa pintu halte. Tas saya taruh di bawah saya melipir ke arah halte. Saya tunjukkan gelang saya dan ajaibnya mereka melihat saya seperti menemukan anak hilang.
Dengan bahasa Inggris mereka bertanya dimana saja rombongan saya, saya jawab saya ada rombongan 30 orang semua memakai bandana warna merah. Dan saya pun diminta mendekat. Segera saya balik ke rombongan. Saya bilang ke rombongan, ikut saya satu per satu dan barisan jangan terputus, setelah kami siap saya pun memecah satu per satu jamaah lain yang dilarang masuk halte. Setelah mendekat dan melihat saya tiba-tiba para petugas Syirkah membuka pintu untuk rombongan saya dan menahan ratusan jamaah lain agar tidak masuk. Mereka benar-benar mendorong jamaah lain dan membuka jalan untuk rombongan saya masuk Halte. Rombongan saya pun mempercepat laju. Alhamdulillah setelah chaos berdesak-desakan kami satu rombongan bisa masuk bus dan tidak ada yang tertinggal. Segera bus mengantar kami ke Arah Mina.
Di perjalanan kami melihat banyak jamaah haji yang berjalan kaki, semoga saja hanya sampai Muzdalifah tapi bagaimana jika mereka berjalan sampai Mina? Dan kejadian itu memang terjadi, pada akhirnya mereka berjalan kaki dari Arafah ke Mina karena kekacauan sistem transportasi dari shariah. Silahkan hitung di google maps berapa jarak dari Arafah ke Mina.
Bus sempat berhenti sebentar di Muzdalifah. Kami melihat banyak jamaah yang berbaring di tikar beratapkan langit. Hanya beberapa yang ada peneduhnya. Untungnya malam tak terbayangkan jika terjadi siang harinya yang tersengat panas terik pastinya. Beberapa terlihat ada yang mengambil kerikil. Setelah berhenti sejenak bus melaju ke tenda di Mina. Setelah diarahkan petugas kami masuk ke tenda di Mina. Ketua rombongan dan semua ketua regu membicarakan hal yang penting yaitu keputusan untuk melaksanakan tanazul, melihat kekacauan yang ada di arafah muzdalifah kami takut jika kekacauan itu terjadi sampai Mina. Setelah bermusyawarah akhirnya diputuskan untuk tanazul. Tanazul adalah kami tidak menginap di Mina tapi melakukan lempar jumrah bolak balik dari hotel ke jamarat karena lokasi Hotel kami tidak jauh dari Jamarat. Resikonya kita berjalan dari mina ke jamarat dengan membawa tas besar. Tas itu isinya perbekalan kami untuk 4 hari lempar Jumrah. Sedangkan banyak Jamaah lansia yang lempar jumrah dengan berjalan kaki mengikuti jamaah reguler.
Kami mengambil resiko kalau ada jamaah lansia atau yang lain yang kecapekan atau keberatan membawa barang, kami yang muda harus membantu. Selain itu kami harus menyiapkan kerikil untuk kami sendiri dan jamaah safari wukuf. Setelah bulat tekad kami untuk keluar dari Mina kamipun segera berangkat dan ternyata kami dicegah oleh petugas Syarikah saat di pintu keluar. Ada satu petugas yang cukup fasih bahasa Inggris dan saya pun bernegosiasi. Ditanya alasan kenapa tanazul padahal sudah disiapkan tenda, makan dan lain-lain. Lalu saya jawab ini sudah keputusan bersama tadi kami melihat kekacauan selama di arafah dan muzdalifah kami tidak mau mengalaminya. Negosiasi berlangsung cukup alot sampai akhirnya saya diminta ke kantor shariah. Karena merasa bukan siapa-siapa saya mengajak ketua rombongan.
Kami berdua dibawa ke kantor syarikah, namun saat di pintu masuk yang diijinkan masuk hanya satu orang, dan saya yang ditunjuk oleh petugas Syarikah itu. Ketua rombongan hanya bisa pasrah, percaya dan menyerahkan sepenuhnya kepada saya. Saya pun masuk kantor diberikan surat pernyataan dalam bahasa arab. Saya foto dan saya terjemahkan lewat gadget saya isinya semacam pernyataan dan salah satu poinnya adalah mengapa meninggalkan tenda Mina. Saya Pun centang poin yang sesuai dan diminta tanda tangan dan memberi nomor paspor. Dan dengan ini berarti saya yang bertanggung jawab untuk mengeluarkan jamaah dari Mina. Saya bilang ini sudah waktu nya bagi kami untuk ke jamarat sesuai jadwal dari Kementerian Agama ternyata bagi syarikah jadwal dari Kemenag tidak berlaku yang berlaku adalah jadwal dari syarikah. Setelah tanda tangan saya pun bersalaman dan keluar kantor.
Begitu keluar kantor saya menghampiri rombongan dan saya jelaskan dengan detail apa yang terjadi di dalam, dan akhirnya saya memimpin rombongan keluar dari tenda Mina ke arah jamarat. Saya hanya mengandalkan aplikasi Google Maps. Saya memimpin di depan, membuka jalan, saya minta jamaah berjalan satu satu atau maksimal dua orang. Dengan Ibu-ibu di tengah dan ada yang saya tugaskan sebagai sweeper. Saya ikuti kemanapun aplikasi mengarahkan. Pernah sekali jalan yang diarahkan google maps ditutup pihak kepolisian saudi, kami pun memutar arah mencari jalan lain. Saya tetap berusaha membangun mental rombongan.
Jalan yang diarahkan google maps adalah rute terdekat ke jamarat. Kami melewati semacam terminal bus dan banyak sekali jamaah dari negara lain yang diturunkan di jalan. Keadaan padat, sesak dan panas knalpot bus. Ketika ada tempat minum saya berhenti berjalan, selain itu saya juga sering bertanya ke rombongan apakah masih lanjut atau mau istirahat. Satu jamaah ada yang ingin istirahat, yang lain juga berhenti.
Rute yang kami lewati ini melewati tenda-tenda jamaah dari luar negeri, kebanyakan dari benua Afrika. Saya melihat tulisan tenda dari negara Aljazair, Libya, Mesir dan bahkan jamaah Arab saudi sendiri. Dan menurut saya kualitas tenda dan layanannya berbeda dengan tenda jamaah Indonesia. Tak jarang kami di sapa dan diberikan air minum di jalan. Mereka sangat ramah apalagi setelah tahu kami jamaah dari Indonesia. Beberapa kali kami diberi minum dan kurma.
Setelah hampir 3 jam berjalan kami pun sampai di jamarat. Lalu kami melakukan lempar jumrah yang pertama (Jumrah Aqabah). Setelah semua jamaah melempar jumrah dan membadalkan yang safari wukuf kami melanjutkan perjalanan ke hotel. Terbayang jarak tinggal 1,2 km dari jamarat ke hotel, sudah dekat. Saat 200 meter berjalan saya melihat satu bapak-bapak rombongan saya berjalan sudah tidak normal. Lututnya bermasalah. Usia sekitar 57 tahun, berangkat haji bersama istri dan dua anak perempuannya. Dan semua perbekalan beliau yang bawa. Saya tawarkan bantuan untuk membawa tasnya. Dan saat saya angkat ternyata memang berat sekali. Dan ini mempengaruhi kecepatan saya berjalan.
Untungnya jamarah ke hotel jalannya lurus sekitar 1 kilo dan belok kanan 100 meter sudah sampai hotel. Mengingat beratnya tas saya persilahkan jamaah duluan saya membawa tas dan bersama keluarga bapak Ini berjalan paling belakang dan beberapa lansia patokannya lampu kota terakhir belok kanan sudah sampai hotel. Kami berjalan bersama jamaah negara lain dan keadaan sangat ramai. Kira-kira sudah 200 meter hampir sampai, saya melihat rombongan saya duduk di bawah di tepi jalan, saya bertanya kenapa berhenti kan tinggal dikit lagi, lampu itu belok kanan sudah sampai hotel.
Mereka menjawab “Nunggu mas saja, kami takut tersesat”. Dan Alhamdulillah sekitar jam 5 pagi kami sampai hotel. Seusai sholat subuh kami pun beristirahat. Kegiatan lempar jumrah hari kedua dan ketiga kami laksanakan dengan berangkat dari hotel ke jamarat, tidak jauh sekitar 1,3 km tidak terlalu berat untuk jamaah yang lansia. Puncak Haji Alhamdulillah kami lewati dengan lancar.
Dari Mekkah ke Madinah
Selesai beribadah di Mekkah selama 1 bulan kami diberangkatkan ke Madinah dengan menaiki bus. Sekitar 6 jam lamanya perjalanan. Sama dengan jamaah lain kegiatan di Madinah diisi dengan berbagai macam ibadah di Masjid Nabawi. Dan yang utama adalah mengunjungi makam manusia paling mulia di muka bumi, Rasulullah Muhammad SAW. Hari-hari kami isi dengan shalat wajib dan sunnah di masjid ini. Jarak hotel dengan masjid Nabawi tidak jauh hanya sekitar 300-400 meter.
Tidak biasanya, saya sore itu membawa HP ke Masjid Nabawi untuk melaksanakan shalat Maghrib biasanya saya tinggal di kamar. Bubar shalat saya menunggu teman sekamar untuk kembali di depan pintu 326. Lalu lalang banyak jamaah melewati depan saya. Saya melihat dua orang jamaah ibu-ibu lansia berjalan berdua, mereka satu regu dengan saya. Jaraknya tidak jauh hanya beberapa meter saya melihat mereka, namun mereka tidak melihat saya. Mereka berjalan berdua ke arah hotel, di benak saya terpikir sudah benar mereka berjalan berdua ke arah hotel. Saya melanjutkan main HP sambil menunggu rekan saya sekamar datang.
Saat sedang scroll HP tiba-tiba ada telepon masuk, yang saya heran ternyata dari salah satu ibu-ibu yang tadi saya lihat lewat depan saya. Saya pun mengangkat teleponnya. “Mas saya nyasar”. Saya nanya Ibu dimana?. Saya nggak tahu pokoknya ada huruf Qof, Lam , Mim ini saya berdua dengan Ibu ini”. Waduh lalu saya bilang ibu pindah ke video call saja tapi mungkin karena kondisi ramai di telepon ibu tidak bisa mendengar jelas. “Maaf bu saya terpaksa matikan paksa teleponnya”. Lalu saya telepon balik dengan video call. Alhamdulillah diangkat. Di layar HP saya penuh wajah ibu itu sambil bilang “Mas saya nyasar”. Lalu saya minta ibu itu mengangkat hp nya menjauhkan dari wajahnya dan saya minta beliau memutar badannya. Saya perlu melihat background nya. Saat berputar saya mengenali salah satu hotel yang cukup mewah di area itu.
Saya bilang saya sudah tahu posisi ibu tolong jangan bergerak diam di situ saja saya jemput. Bergegas langkah kaki saya Alhamdulillah tidak lama saya segera menemukan mereka. Hanya berjarak 2 meter ternyata Ibu yang menelepon saya tidak mengenali saya. Dia menjawab kalau penglihatan dia tidak jelas karena tidak memakai kacamata. Kami pun berjalan kembali ke hotel. Daripada hilang lagi saya antar sampai ke kamarnya. Dan di kamar sudah banyak yang panik karena ternyata ada yang mendengar kalau dua ibu ini tersesat.
Di hari lain saya kembali melihat dua ibu-ibu lansia berjalan pulang ke hotel dari shalat di Nabawi. Tidak ingin kejadian serupa terulang, saya bersama mereka. Kami pun terlibat percakapan. Ternyata dua ibu ini mengajak jalan-jalan untuk sekedar mencari jajanan cemilan dan makanan ringan untuk dibawa sebagai oleh-oleh. Saya tawarkan untuk ke supermarket namanya bin Dawood. Tiap kali bertemu eskalator, saya selalu menjaga mereka. Agak awam para jamah ini dengan eskalator. Hampir saja satu dari mereka jatuh jika saya tidak sigap memegang tangannya.
Kami berkeliling melihat rak makanan. Ada cemilan, kurma berbagai macam makanan dan minuman. Mereka membeli yang diinginkan sambil menjelaskan ke mereka makanan itu apa, karena di Indonesia tidak ada atau ada tapi lain namanya. Dari awal saya tidak niat berbelanja hanya mengantar mereka berdua. Melihat itu mereka memaksa saya untuk membeli sesuatu, namun saya tidak mau. Karena mereka memaksa akhirnya saya membeli susu coklat Almarai. Rejeki tidak boleh ditolak katanya. Mereka memang ingin sekali mentraktir saya karena selama di Mekah saya banyak membantu mereka.
Hari kepulangan ke tanah air tiba. Banyak peristiwa dan kenangan yang terjadi. Semoga Allah SWT menerima Ibadah kami. Aamin.